Sebagai sekolah pendidikan karakter berbasis agama dan budaya serta teknologi bersamaan Hari Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang biasa di peringati setiap tanggal 4 januari acara tersebut di gelar, Jum’at (17/1/2020).
Dalam kegiatan berdurasi dua jam yang diikuti siswa kelas 3ABCD, 4 wali kelas, guru olahraga, 12 pimpinan sekolah juga untuk sosialisasi dari sekolah untuk orang tua maupun ke anak dan masyarakat luas.
Permainan tradisional seperti gobak sodor, dakon, lompat tali, e grang, jamuran dan bentik seakan lebih terancam dengan adanya permainan modern atau game.
Padahal manfaat dari permainan tradisional untuk anak-anak sangat baik, seperti mengembangkan konsep diri, kreativitas, komunikasi, aspek fisik dan motorik, aspek sosial, aspek emosi atau kepribadian, dan aspek kognitif.
“Sebanyak 140 siswa lestarikan permainan tradisional, momen langka. Sehingga anak-anak juga diajarkan menjadi pribadi unggul, terbuka dan mampu bekerja sama dengan teman, sesuai himbauan Mendikbud Nadiem, belajar tak harus di kelas, merdeka belajar, guru penggerak,” ungkap Wakil Kepala Sekolah bidang Humas, Jatmiko.
Sementara itu, bagi Gibran dalang cilik milenial kelas IIB yang diajak ikut bermain, “Pengalaman pertama bermain gobak sodor, meski sulit tapi bisa menyelesaikan tepat waktu,” akunya.
Lain halnya dengan ki Galen kelas 3C. Dia mengaku sering bermain wayang dan robotik di rumah.
“Ini main enggrang dibantu sama guru. Seneng tapi capek,” jelasnya.
Bahkan, kata Pengamat Budayawan Solo Ki Sudarwanto, anak-anak era sekarang lebih senang menghabiskan waktu luangnya bermain gadget sehingga kurang bersosialisasi dengan anak seusianya.
“SD Muh 1 telah menghidupkan permainan tradisional, kami dukung, tentu berbeda dengan permainan modern, yang membuat anak lebih banyak asyik sendiri,”pungkasnya.
Humas, Jatmiko.
0 comments:
Posting Komentar