Solo, - Bergelut menjadi dalang wayang kulit sudah biasa. Namun, berbeda dengan dalang yang satu ini.
Berkat kreativitasnya, Agung Sudarwanto, Pria kelahiran Desa Kauman, Nganjuk Jawa Timur pada 4 Agustus 1979 yang mengaku mulai mendalang sejak kelas lima SD tahun 1990.
Berhasil membuat Wayang Adiwiyata atau Wayang Peduli Lingkungan, menggunakan media Wayang Transformatik (Transformasi Plastik) iringan gamelan, alat musik modern, seni tari dan di dukung tata lighting yang muaranya lebih terasa komunikatif di era industri 5.0.
Ki Agung, merupakan anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kota Surakarta.
Mengaku terinspirasi mengembangkan wayang ini sejak SD Muhammadiyah 1 Ketelan ditetapkan sebagai Sekolah Adiwiyata oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Solo tahun 2018 lalu.
“Wayang transformatik dengan lakon “kapan peduli lingkungan”, siap digelar di berbagai instansi terkait yang peduli terhadap lingkungan,” ujar Ki Agung bertepatan Hari Mendongeng Internasional yang diperingati tiap 20 maret, Rabu (20/3/2019) kemarin.
Wayang Adiwiyata ini dipentaskan selama kurang lebih tiga puluh menit. Pada suatu hari yang cerah telah terjadi pertemuan antara Sikun, Sijou dan Sime.
Mereka membicarakan tentang kebersihan lingkungan, kita harus tetap menjaganya agar hidup ini menjadi sehat.
Sijou berpendapat itu bisa tercapai jika manusia sadar dan tanggap terhadap kondisi alam, maka dari itu ketiga tokoh tersebut memberikan contoh praktik baik menyikapi sampah di lingkungan sekitar.
Mereka tak sungkan mengingatkan sikap manusia yang kurang baik dalam memperlakukan sampah demi menyelamatkan bumi.
Mengetahui gerakan 3 S tersebut, sekelompok nyamuk, kecoa, lalat berbincang-bincang menyerang Sikun, Sijou dan Sime.
Kelompok 3S dianggap sebagai penghalang keinginan nyamuk, kecoa dan lalat dalam menyebarkan bakteri jahat di muka bumi. Terjadilah perselisihan dan konflik di antara kedua belah pihak. Siapakah yang menang dan yang kalah ? Silahkan simak dalam pagelarang WAYANG ADIWIYATA, Karya : Agung Sudarwanto, S.Sn., M.Sn.
“Kita siap berkolaborasi dengan Dinas Lungkungan Hidup ataupun pihak Sekolah yang peduli terhadap kebersihan Lingkungan. Setiap pertunjukan saya selalu menyisipkan pesan moral di dalamnya, ada pesan lima karakter utama, dari sisi religius, nasionalisme, integritas, gotong royong dan mandiri, di kemas dalam sajian lancaran sekolah pendidikan karakter, lancaran adiwiyata, lagu sekolah istanaku, lagu sampah,” katanya.
Sarjana Seni (SSn) lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta ini sering dipercaya menyusun naskah dan mengarahkan pementasan dalang China di Nganjuk, Surabaya, Semarang, dan Madura.
“Sewaktu kecil, saya pernah diundang pentas di rumah Ki Manteb Soedharsono di Karangpandan dan Ki Anom Suroto. Pada tahun 1991, saya di tunjuk TVRI Surabaya untuk siaran dengan lakon Babad Alas Mrentani. Lalu pentas di RRI Semarang dan di Sragen dengan arahan almarhum Ki Prenggo Darsono dan almarhum Ki Gondo Darman,” ucapnya.
Agung melanjutkan, berkat arahan dalang-dalang senior itu, tahun 1992, saat dia duduk di bangku SD kelas 6, dia mampu menyajikan pakeliran semalam di Nganjuk, Kediri, Surabaya, Ngawi, Magetan, Madiun, dan sekitarnya.
Wakil kepala sekolah bidang Humas, Jatmiko, mengatakan inovasi yang dilakukan oleh Ki Agung ini patut diapresiasi.
“Ki Agung ini mampu berinovasi dengan kesenian wayang, tetapi tetap menjaga etika dan estetika budaya,” ujarnya.
Humas Jatmiko.
0 comments:
Posting Komentar